Jakarta, CNN Indonesia —
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut lima smelter yang telah disita di wilayah Provinsi Bangka Belitung (Babel) terkait kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah akan tetap beroperasi.
Kepala Badan Pemulihan Aset Kejagung Amir Yanto mengatakan keputusan itu juga telah disepakati dalam rapat koordinasi dengan Kementerian BUMN, Pj Gubernur Bangka Belitung, dan TNI-Polri.
“Nanti kelima smelter yang telah disita di Bangka Belitung ini akan tetap dikelola,” ujarnya kepada wartawan di Bangka Belitung dalam keterangan resmi, Rabu (23/4).
Amir menjelaskan dalam pertimbangannya pengoperasian smelter dinilai menjadi langkah paling efektif agar tidak terbengkalai atau rusak. Terlebih, kata dia, smelter-smelter itu telah memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
Berdasarkan catatan pemerintah setempat, Amir menyebut setidaknya ada 30 persen masyarakat yang bergantung hidup atau memiliki mata pencaharian pada proses pengelolaan timah di Bangka Belitung.
“Sehingga tidak rusak dan memberikan suatu peluang usaha atau kerja untuk masyarakat Bangka Belitung ini yang 30 persen mata pencaharian dari timah ini,” tambahnya.
Lebih lanjut, Amir menekankan kegiatan pengoperasian smelter ini akan dilakukan secara legal dan tidak menimbulkan kerusakan ekologi.
“Secepat mungkin pihak terkait mencarikan solusi sehingga tidak melanggar aturan yang ada dan mungkin tidak menimbulkan suatu kerusakan ekologi atau lingkungan,” katanya.
Sebelumnya, Kejagung telah menyita smelter pada empat perusahaan di Bangka Belitung, mulai dari CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Internusa (TI) dan PT Sariwiguna Bina Sentosa.
Total luas smelter yang disita mencapai 238.848 meter persegi .
Selain itu, Kejagung juga menyita alat berat dan alat pemurnian bijih timah milik PT Refined Bangka Tin (RBT) dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk pada Senin (22/4).
Kejagung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah. Para tersangka mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin.
Kejagung menyebut nilai kerugian ekologis dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp271 Triliun berdasarkan hasil perhitungan dari ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo.
Nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis yakni kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun dan terakhir biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.
Kendati demikian, Kejagung menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut masih belum bersifat final. Kejagung menyebut saat ini penyidik masih menghitung potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi itu.
(tfq/kid)